Tuesday, October 8, 2019

Aspek aspek sosiologi suku tanah toraja di kabupaten kolaka


Makalah Sosiologi Kehutanan                                                  Medan,    Oktober 2019
ASPEK ASPEK SOSIOLOGI SUKU TANAH TORAJA

Dosen Penanggungjawab :
Dr.Agus Purwoko, S.Hut., M.Si
Oleh :
Rivanda Inaldi
171201152

KSH 5















PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia–Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Interaksi Sosial Suku Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka” ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai salah satu pengetahuan untuk mengetahui interaksi sosial perkembangan masyarakat Tanah.
            Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen Dr.Agus Purwoko, S.Hut., M.Si yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat selesai, yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis.Penyelesaian laporan ini dengan memperoleh informasi dari berbagai pihak dan sumber dari buku, serta teman – teman. Dengan penuh kesadaran mengenai segala kekurangan penulis siap menerima saran dan kritik demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain.


                                                                                      Medan,   Oktober 2019


Penulis



DAFTAR  ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang… . ……………………………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah…………… .………………………………………….2
1.2 Tujuan…………… .………………………………………………….......2
BAB 2. ISI
        2.1 Suku Tanah Toraja ……………………………………………....………3
        2.2 Sejarah suku Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka ……………………….3
      2.3 Interaksi sosial Tanah Toraja di lingkungan masyarakat lokal ……..…. .6
 2.4 Budaya lokal sebagai pemersatu dan penerimaan kelompok masyarakat       Tanah Toraja……………………………………………………….….....8
2.5 Proses upacara adat Rambu Solo (Upacara Kematian) …………………..9
BAB 3. KESIMPULAN
        3.1 Kesimpulan………………………………………………………. ……12
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kemajemukan masyarakat di daerah-daerah dalam wilayah Negara Indonesia memberikan potensi timbulnya berbagai penilaian ataupun anggapan yang beragam dari satu etnis kepada etnis lainnya. Penilaian tersebut didasarkan pada beberapa komponen nilai dan kompleksitas sikap realistis yang menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Menurut Syani (1990), perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (Arab), yang berarti bersama-sama kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat (Indonesia).
Comte (1982) mengatakan bahwa masyarakat merupakan kelompok makhluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukumhukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan yang tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat membuat banyak kehidupannya. Menurut Hans (1989) bahwa masyarakat adalah kumpulan atau kelompok manusia yang tinggal di suatu tempat yang mempunyai tata aturan tertentu atau norma-norma sosial yang menjadi dasar atau landasan berperilakunya kelompok tersebut dalam arti semua gerak langkah perilaku dan
semua kehidupan dan menjadi anggota dari kelompok itu.
Kata masyarakat sebagai community cukup memperhitungkan dua variasi dari suatu berhubungan dengan kehidupan bersama (antar manusia) dan lingkungan alam. Jadi ciri dari community ditekankan pada kehidupan bersama dengan bersandar pada lokalitas dan derajat hubungan sosial atau sentiment community oleh Shadily dalam Soekanto (1990) disebut sebagai paguyuban yang memperlihatkan rasa sentimen yang sama seperti terdapat Gemenischaft. Anggota
masyarakat mencari keputusan berdasarkan adat kebiasaan dan sentimen (faktor
primer) kemudian diikuti atau diperkuat oleh lokalitas (faktor sekunder).
Olsen dan Kroeger (2001) menemukan bahwa staf universitas dan anggota fakultas yang sangat mahir dalam bahasa lain selain bahasa Inggris dan yang memiliki beragam pengalaman budaya memiliki kemampuan komunikasi antar budaya yang lebih tinggi. Satu studi menunjukkan bahwa siswa yang belajar di luar negeri mengembangkan rata-rata meningkat jauh lebih tinggi dalam hal etno-relativisme daripada siswa yang tidak belajar di luar negeri. Studi ini menunjukkan bahwa dalam rangka untuk menerima keuntungan dari peningkatan kemampuan komunikasi antar budaya, individu harus berinteraksi dalam budaya bersangkutan.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu suku Tanah Toraja?
2.      Bagaimana sejarah suku Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka?
3.      Bagaimana interaksi sosial Tanah Toraja di lingkungan masyarakat lokal?
4.      Bagaimana budaya lokal sebagai pemersatu dan penerimaan kelompok masyarakat Tanah Toraja?
5.      Bagaimana proses upacara adat Rambu Solo (Upacara Kematian)?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui Suku Tanah Toraja.
2.      Untuk mengetahui sejarah suku Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka.
3.      Untuk mengetahui interaksi sosial suku Tanah Toraja di lingkungan masyarakat local.
4.      Untuk mengetahui upacara adat Rambu Solo (Upacara Kematian).
5.      Untuk mengetahui budaya local sebagai pemersatu dan penerimaan kelompok masyarakat Tanah Toraja.





BAB II
ISI
2.1 Suku Tanah Toraja Di Kabupaten Kolaka
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.  Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

2.2  Sejarah suku Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka.
Pada tahun 1958 ekspansi suku Tanah Toraja kewilayah lain yang terdekat
yakni pulau Maniang di Pomalaa dimulai. Hal ini ditandai dengan ditemukannya
nikel oleh Sampe Toding seorang suku asli Tanah Toraja yang kemudian menyebabkan perpindahan sebagian besar suku Tanah Toraja dari tanah kelahirannya dan dianggap sebagai gelombang pertama kedatangan suku Tanah Toraja di Pomalaa namun tujuan mereka adalah pulau Maniang yang merupakan
daerah pertama di temukannya bijih nikel oleh seorang pemuda bernama Sampe
Toding yang adalah suku Tanah Toraja. Pulau Maniang merupakan salah satu pulau yang terpisah namun tidak seberapa jauh dari wilayah Pomalaa yang dikelilingi lautan dan berupa daratan. Daerah kecamatan Pomalaa bagian dari wilayah kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Yang memiliki penduduk lokal atau pribumi yaitu suku Tolaki Mekongga. Pada tahun 1960 mereka kembali datang untuk gelombang kedua yang kembali ditempatkan di pulau Maniang sebagai pekerja di pabrik pertambangan nikel yang didirikan oleh Sampe Toding dengan nama PERTO (Perusahaan Tanah Toraja). Perpindahan suku Tanah Toraja dari kampong halaman diorganisir oleh Bapak Pasorong Rumengan, ST.
            Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) yang didiami oleh suku Tolaki, Moronene Muna dan Buton merupakan daerah yang subur dan kaya baik dari sumber daya alam pertanian, perkebunan, kelautan dan terutama dengan hasil pertambangannya. Hal inilah yang mejadi pendorong bagi etnis-etnis diwilayah
lain khususnya dari wilayah terdekat untuk mencoba peruntungan dan perbaikan
nasibnya di daerah Sultra. Salah satunya adalah suku Tanah Toraja yang merupakan suku dari wilayah Sulawesi Selatan. Suku Tanah Toraja mendiami daerah pegunungan dan umumnya mempertahankan hidup dengan bertani, berkebun serta beternak. Cenderung hidup berkelompok dan memiliki ikatan kekerabatan yang kuat serta solidaritas yang tinggi yang tetap menjadi ciri khas orang Tanah Toraja di manapun berada.
Masyarakat Suku Tanah Toraja yang datang pada lokasi pertambangan nikel di Pulau Maniang yakni pulau di sekitar daerah kecamatan Pomalaa, berasal dari lima daerah di Kabupaten Tanah Toraja seperti daerah Mamasa, daerah Baruppu, daerah Buakayu, daerah Makale, daerah Mengkendek. Mereka ini yang kemudian orang-orang Tanah Toraja pertama yang bermukim di Kabupaten Kolaka di Pomalaa dan berbaur dengan penduduk lokal. Memang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat mempunyai bentuk-bentuk strukturalnya seperti, kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi dan kekuasaan, akan tetapi kesemuanya itu mempunyai suatu derajat dinamika tertentu yang menyebabkan pola-pola perilaku yang berbeda, tergantung dari masing-masing situasi yang dihadapi.
Berbagai kepentingan dalam perkembangan kebudayaan suku bangsa yang berada di dalam masyarakat yang multietnik sering menjadi penyebab timbulnya berbagai konflik, baik konflik terbuka maupun konflik laten (potensi konflik). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman mengenai kebudayaan suatu suku bangsa terutama pemahaman terhadap kebudayaan etnik lokal dimana berbagai etnik itu hidup berdampingan. Dari permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimana interaksi orang Tanah Toraja dalam lingkungan masyarakat Tolaki Mekongga. Kedua, bagaimana dukungan budaya lokal dalam penerimaan pada Masyarakat Tanah Toraja di Kabupaten Kolaka.    
Model Pengembangan Intercultural Sensitivity (DMIS), yang menunjukkan bahwa individu dengan kepekaan antar budaya cenderung mengubah panggung etnosentris ke dalam panggung etno-relatif. Model ini mencakup enam tahap perkembangan. Tiga tahap pertama adalah penyangkalan,
pertahanan dan minimisasi dipandang sebagai "etnosentris". Individu melihat budaya mereka sendiri sebagai pusat dari realitas, dan individu bertindak dengan
"menghindari perbedaan budaya melalui penyangkalan perbedaan tersebut, meningkatkan pertahanan terhadap perbedaan dan mengurangi pentingnya perbedaan itu". Tiga tahap berikutnya (penerimaan, adaptasi, dan integrasi) dipandang sebagai "etnorelatif". Selama tahap ini, orang memahami budaya dalam konteks budaya orang lain, dan dapat ditafsirkan sebagai "mencari perbedaan budaya melalui penerimaan arti penting budaya tersebut, mengadaptasi perspektif untuk memperhitungkannya, atau dengan mengintegrasikan seluruh konsep ke dalam definisi identitas ". Model sensitivitas antar budaya menunjukkan bahwa apabila pengalaman seseorang mengenai perbedaan budaya meningkat, maka kompetensinya dalam situasi antar budaya akan meningkat.
Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamikanya disebabkan karena kedua kelompok saling berinteraksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekanto (1990) bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Mengingat struktur masyarakat Tanah Toraja dan Masyarakat Tolaki yang multikultur sehingga dipandang perlu dikembangkan Sensitivitas antar budaya . Dalam masyarakat semacam ini, keharmonisan interaksi akan terbentuk apabila masing-masing etnik
memiliki Sensitivitas antar budaya yang berbeda, dengan Sensitivitas komunikasi
antar budaya tinggi cenderung untuk mampu melakukan komunikasi antar budaya dengan baik.
Dalam interaksi sosial, ada beberapa bentuk yang diungkapkan oleh Soekanto (1990) bahwa bentukbentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Kenyataan di lapangan dengan jumlah Orang Tanah Toraja yang semakin bertambah dan status perekonomian yang semakin membaik menjadi awal permasalahan dengan masyarakat lokal yang awal tercipta kerjasama yang baik dan selanjutnya terjadi persaingan yang dapat melahirkan konflik. Permasalahan-permasalahan yang timbul, nampaknya tidak mudah diselesaikan karena melibatkan banyak kepentingan baik dari kalangan pendukung kebudayaan suatu etnik maupun dari kalangan di luar etnik.

2.3 Interaksi sosial suku Tanah Toraja di lingkungan masyarakat lokal                               
            Orang Tanah Toraja melakukan ekspansi pada tahun 1958 di Pulau Maniang di Pomalaa dimulai. Sampe Toding menemukan nikel dan mengajak orang Tanah Toraja ke Maniang dan meninggalkan kampung halaman. Pulau Maniang merupakan salah satu pulau yang terpisah namun tidak seberapa jauh dari wilayah Pomalaa yang dikelilingi lautan dan berupa daratan. Daerah Kecamatan Pomalaa bagian dari wilayah Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Yang memiliki penduduk lokal atau pribumi yaitu suku Tolaki Mekongga. Gelombang kedua perpindahan suku Tanah Toraja dari kampong halaman diorganisir oleh Bapak Pasorong Rumengan, ST. pada tahun 1960 menuju ke Pulau Maniang sebaga pekerja di pabrik pertambangan nikel yang didirikan oleh Sampe Toding dengan nama PERTO (Perusahaan Tanah Toraja). Orang-orang yang didatangkan tersebut berjumlah puluhan orang dan hanya merupakan para pekerja laki-laki yang diperkirakan berjumlah sekitar puluhan orang.
Masyarakat suku Tanah Toraja di daerah Pomalaa sebagian besar adalah bermata pencaharian sebagai pegawai swasta pada PT. Antam Pomalaa, sebagian lagi bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan hanya sedikit yang bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ekonomi masyarakat suku Tanah Toraja di perantauan telah mengalami perubahan dibandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat suku Tanah Toraja di daerah asal.
            Proses pengolahan tambang nikel yang terus menerus menyebabkan sumber daya nikel di Pulau Maniang yang memang tidak begitu banyak berkurang sehingga pulau ini kemudian ditinggalkan pindah ke kecamatan Pomalaa yang persediaan nikelnya jauh lebih banyak. Pada saat itu wilayah Kecamatan Pomalaa sebagian besar sudah didominasi oleh Komunitas Suku Tanah Toraja, sedangkan masyarakat lokal setempat mulai mencari daerah pinggiran Pomalaa. Olehnya itu masyarakat suku Tanah Toraja hingga saat ini terkonsentrasi didaerah yang terdekat dengan pabrik nikel yakni desa Pelambua, Tonggoni, Pesahua, dan Hoko-Hoko. Namun perpindahan ini berjalan dengan damai dan kedua etnis masing saling tolong menolong.
Masyarakat lokal Tolaki Mekongga juga banyak mendiami daerah-daerah pinggiran diantaranya di desa Oko-Oko, Wundulako, Langori. Selain mayoritas penduduknya adalah masyarakat Tanah Toraja, itu juga banyak suku-suku lain yang menempati beberapa wilayah dikecamatan Pomalaa yakni desa Dawi-Dawi itu mayoritas penghuninya adalah suku Bugis Makassar, Desa Tambea dihuni oleh suku Bajo. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat perkembangan masyarakat suku Tanah Toraja hingga kini memperlihatkan penurunan hal ini didasarkan atas jumlah keseluruhan masyarakat Pomalaa hingga kini yakni 26.003 jiwa dengan perbandingan jumlah laki-laki 13.279 jiwa sedangkan perempuan 12.724 jiwa. Keseluruhan masyarakat pomala tersebut tertbagi kedalam 5.614 KK. Sedangkan jumlah masyarakat Tanah Toraja yakni 189 KK.
Masyarakat suku Tanah Toraja di daerah Pomalaa sebagian besar adalah bermata pencaharian sebagai pegawai swasta pada PT. Antam Pomalaa, sebagian lagi bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan hanya sedikit yang bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ekonomi masyarakat suku Tanah Toraja di perantauan telah mengalami perubahan dibandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat suku Tanah Toraja di daerah asal.

2.4  Budaya lokal sebagai pemersatu dan penerimaan kelompok masyarakat Tanah Toraja.
Pada hakikatnya masyarakat Toraja adalah memiliki karakter yang tidak
temperamental dan cenderung menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitarnya namun penelitian yang negatif terkadang muncul dari individuindividu yang berbeda budaya sehingga dapat memberikan penilain yang sepihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut orang suku Tolaki mekongga menilai bahwa orang-orang suku Toraja itu memiliki penilain yang positif dan juga penilaian yang negatif.
Jika terjadi konflik atau pertentangan, maka semua unsur sosial yang bertentangan di atas dapat dipersatukan oleh kalo sara. Kalo sara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan bangsawan dan golongan budak disebut kalo sara mbutobu, yaitu kalo sara yang digunakan untuk menghadap kepada putobu (kepala wilayah) agar kepala wilayah turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan bangsawan dan budak. Kalo sara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan pemerintah dan golongan rakyat disebut kalo sara mokole, yaitu kalo sara yang digunakan untuk menghadap mokole (raja) agar raja turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan pemerintah dan rakyat.
Kalo berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual. Juga berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentanganpertentangan sosial dalam kehidupan orang Tolaki. Unsur sosial bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan oleh kalo adalah meliputi unsur pertentangan yang terdapat pada kualifikasi dua dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang bertentangan itu adalah golongan bangsawan dan golongan budak, atau golongan pemerintah dan golongan rakyat, dan antar person. Timbulnya pertentangan sosial antara golongan bangsawan dan golongan budak biasanya bersumber dari perlakuan tidak sewajarnya terhadap satu sama lain, demikian pertentangan sosial antara golongan pemerintah dan golongan rakyat biasanya bersumber dari perbedaan faham dalam soal politik. Sedangkan timbulnya pertentangan antara keluarga dengan keluarga biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal kawin lari, dan timbulnya pertentangan antara person dengan person biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal harta pusaka. Interaksi sosial masyarakat pendatang.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa faktor pemicu hal-hal yang tidak dinginkan dalam masyarakat yang majemuk biasanya diakibatkan oleh ketidak sengajaan atau kelalaian yang mengakibatkan kehilangan nyawa atau kerugian materi yang membuat masyarakat yang dirugikan akan melakukan tindakan anarkitas. Persoalan antar etnis ini kemudian menjadi pertarungan konfrontasi antara dua kubu etnis yakni antara etnis Toraja dan etnis asli pribumi Tolaki Mekongga hingga akhirnya harus ditangani oleh aparat keamanan kepolisian untuk mengusut dan menuntaskannya sehingga tidak menjadi bumerang bagi masyarakat lainnya.
Kalo sara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan dua pihak keluarga yang berselisih karena soal kawin lari disebut kalo sara sokoei, yaitu kalo yang digunakan untuk membentengi diri dari pihak keluarga yang melarikan gadis dari serangan pihak keluarga yang anak gadisnya dilarikan. Kalo sara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan orang dengan seorang yang berselisih disebut kalo sara mekindoroa, yaitu kalo sara yang digunakan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih karena keduanya saling mengancam untuk membunuh lawannya. Orang Tolaki memperlakukan kalonya itu sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial karena kalo adalah simbol pemersatu.

2.5 Upacara adat Rambu Solo (Upacara Kematian).
Adat istiadat adalah tingkah laku atau kebiasaan sehari-hari antara satu sama lain dalam masyarakat yang telah disepakati secara bersama-sama. Adat istiadat yang paling menonjol yang dapat dilihat pada masyarakat suku Tanah Toraja yang asli adalah upacara kematian atau yang dikenal dengan upacara Rambu solo. Masyarakat Tanah Toraja di Tanah Toraja sangat dikenal dengan upacara pemakamannya merupakan tradisi yang selalu diwariskan secara turun temurun. Di Tanah Toraja pada umumnya masyarakat sangat menghormati leluhur yang telah meninggal. Oleh karena itu jika seorang yang meninggal dunia, atau telah menghembuskan nafas, maka keluarga wajib mengadakan upacara kematian dimaksudkan untuk mendoakan para arwah sampai ke alam fana.            
Kesempurnaan tahapan-tahapan upacara kematian dan status sosial pada masa hidupnya akan menentukan di mana posisi arwah, apakah dia sebagai Bombo, Tomembali Puang, atau Deata. Tingkat unsur Pong Matau adalah pencipta atau menjadi asal mula manusia yang tidak pernah turun ke bumi dan bersemayam di kayangan. Tingkat unsur Tomembali Puang akan tercipta oleh arwah leluhur yang berasal dari semua lapisan masyarakat yang telah sempurna tahapan-tahapan dalam upacara kematiannya. Sedangkan arwah leluhur yang bergentayangan adalah arwah leluhur yang berasal dari semua lapisan masyarakat yang tidak diupacarakan atau tidak sempurna upacara kematiannya sesuai Ajaran Aluk Todolok pada saat kematiannya. Konsep kematian bagi orang Tanah Toraja bahwa orang benar-benar telah dianggap mati apabila upacara kematian telah selesai dilaksanakan, baik yang dilaksanakan secara sempurna maupun yang tidak dilaksanakan secara tidak sempurna sesuai adat. Orang yang baru mati sebelum diucapkan, masih tetap dianggap sebagai orang yang sakit, sampai pada sanak keluarga yang telah siap untuk mengadakan upacara kematian.
Mayat yang belum diupacarakan biasanya disimpan dalam satu peti kemudian diletakkan di atas rumah dalam jangka waktu tertentu atau dikaburkan sementara, dan pada saat akan diadakan upacara kematian maka peti mati diganti dengan peti yang baru. Bagi bangsawan tinggi, peti mati yang lama beserta perlengkapan lainnya yang dipergunakan selama dia dianggap sebagai orang yang sementara sakit, ditanam di sekitar bermukim atau di sekitar Rante simbuang (biasanya terletak di sebelah barat berdekatan dengan menhir) disebut dengan karopik.
            Upacara kematian pada suku Tanah Toraja dikenal dengan upacara Ranbu Solo adalah upacara yang berkaitan dengan kematian dan kedukaan, yang diatur dalam Aluk Rampe Matampu (aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari). Kebanyakan dinyatakan dalam upacara Rambu Solok merupakan suatu peristiwa yang mengandung dimensi di Tanah Toraja dapat dibagi empat, yaitu upacara Disilik, upacara Dipasangbongi, upacara Didoya dan upacara Dirapaik. Masyarakat suku Tanah Toraja di Pomalaa, dalam hal upacara kematian telah mengalami perubahan, yang mana perubahan itu mengenai tata upacara kematian di Tanah Toraja tidak semuanya dapat dilakukan di Pomalaa. Hal ini disebabkan karena masyarakat suku Tanah Toraja di Pomalaa harus dapat menyesuaikan dengan keadaan mereka yang ingin melakukan upacara kematian dimana kalau di Tanah Toraja upacara kematian dilakukan dalam waktu yang lama, berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan sedangkan di Pomalaa upacara kematian dikenal hanya 3 hari.
            Di Pomalaa mayat tidak lagi dikubur dalam liang batu tapi di kubur di
liang tanah. Semuanya itu tidak lagi dilaksanakan karena mereka sudah mengikuti perkembangan zaman dan juga keadaan lingkungan mereka berada. Dalam hal pemakaian biaya untuk upacara kematian serta hewan yang akan dikorbankan, tidak lagi mengikuti seperti halnya yang ada di Tanah Toraja. Karena mengingat kondisi lingkungan, dan juga kesanggupan yang dapat mereka laksanakan pada upacara tersebut. Masyarakat Tanah Toraja di Pomalaa telah mengalami perubahan itu tidak terlalu memaksa terutama dalam hubungannya dengan kebudayaan khususnya upacara kematian, hal ini ditandai dengan semakin berkurangnya penganut kepercayaan Aluk Todolo, masyarakat suku Tanah Toraja
diperantauan sebagian besar telah menganut agama Kristen serta Islam juga disebabkan oleh adanya perkawinan campuran antara suku Tanah Toraja dengan suku lain, hal ini menyebabkan terjadi percampuran budaya antara budaya Tanah Toraja dengan budaya masyarakat setempat, sehingga tidak semua tata upacara yang dilakukan di Tanah Toraja dilakukan di daerah perantauan.




           


BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
          Interaksi sehari-hari orang Tanah Toraja dengan masyarakat lokal pada dasarnya berjalan dengan baik, walaupun kadang konflik terselubung yang tampak pada orang Tolaki Mekongga sebagai etnis lokal dalam memandang orang Tanah Toraja dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi sosial orang Tanah Toraja dan orang Tolaki Mekongga berlangsung dalam tiga bentuk kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan atau pertikaian (conflict). Masyarakat lokal menerima kehadiran masyarakat pendatang yaitu Suku Tanah Toraja dan memperkenalkan dan mewajibkan untuk mematuhi Kalosara, simbol Kalosara dijadikan hukum adat orang Tolaki baik dalam urusan adat istiadat itu sendiri maupun dalam urusan kemasyarakatan, serta penyelesaian-penyelesain konflik antara etnis Tolaki Mekongga dan etnis Tanah Toraja.



DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Dewi. 2013. Interaksi Sosial Orang Tanah Toraja Pada Masyarakat
Lokal Di Kabupaten Kolaka. KANAL. 2(1): 1-106.

Susetyo, Budi. 2009. Sterotip dan Relasi antar Kelompok. Graham Ilmu.
Jakarta.